”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan mampu menghargai sejarah
perjuangan para pendahulunya”. Dalam konteks ini, sudahkan kita sebagai bangsa yang
besar? Benarkah kita sebagai bangsa sudah sangat perhatian dan menghargai para
pahlawan pejuang bangsa yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan
tanah air, masyarakat dan Negara Indonesia? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini kitapun
menjadi ragu dan termangu, apakah kita sudah termasuk bangsa yang menghargai sejarah
perjuangan para pahlawan kita sendiri, mengingat di antara kita banyak yang tidak
memahami sejarah perjuangan bangsa. Indikator yang terlihat salah satunya banyak
anggota masyarakat dan para remaja kita yang tidak senang, tidak berminat dengan
pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah di sekolah menjadi mata pelajaran yang tidak menarik
dan membosankan. Pelajaran sejarah dipandang menjadi pelajaran yang tidak penting,
apalagi tidak di UN-kan. Posisi mata pelajaran di sekolah dipandang sebagai mata
pelajaran tambahan yang dapat dibelajarkan oleh siapa saja. Mengapa demikian? Salah
satu sebabnya bisa ditebak karena pembelajaran sejarah kita cenderung hafalan dan
kurang bermakna dalam kehidupan keseharian, yang berada di tengah-tengah dinamika
kehidupan masyarakat yang cenderung konsumtif-materialistik. Hal ihwal termasuk mata
ajar yang tidak terkait langsung dengan soal materi dan ekonomi, tidak begitu diminati.
Pembelajaran sejarah sebenarnya tidak sekedar menjawab pertanyaan what to teach,
tetapi bagaimana proses pembelajaran itu dilangsungkan agar dapat menangkap dan
menanamkan nilai serta mentransformasikan pesan di balik realitas sejarah itu kepada
peserta didik. Proses pembelajaran ini tidak sekedar peserta didik menguasai materi ajar,
tetapi diharapkan dapat membantu pematangan kepribadian peserta didik sehingga
mampu merespon dan beradaptasi dengan perkembangan sosio kebangsaan yang semakin
kompleks serta tuntutan global yang semakin kencang.
MAKNA PEMBELAJARAN SEJARAH
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pembelajaran sejarah
sebenarnya memiliki makna yang strategis. Pembelajaran sejarah adalah suatu proses untuk
membantu mengembangkan potensi dan kepribadian peserta didik melalui pesan-pesan
sejarah agar menjadi warga bangsa yang arif dan bermartabat. Sejarah dalam hal ini
merupakan totalitas dari aktivitas manusia di masa lampau (Walsh, 1967), dan sifatnya
dinamis. Maksudnya, bahwa masa lampau itu bukan sesuatu final, tetapi bersifat terbuka
dan terus berkesinambungan dengan masa kini dan yang akan datang. Karena itu sejarah
dapat diartikan sebagai ilmu yang meneliti dan mengkaji secara sistematis dari
keseluruhan perkembangan masyarakat dan kemanusiaan di masa lampau dengan segala
aspek kejadiannya, untuk kemudian dapat memberikan penilaian sebagai pedoman
penentuan keadaan sekarang, serta cermin untuk masa yang akan datang.
Lebih jauh pengertian sejarah juga berkait dengan persoalan kemanusiaan dan
sebuah teater di mana manusia menjadi pemain watak, berdasarkan pengetahuan,
pengalaman, dan keteladanan yang sudah ada. Sejarah akan mendidik manusia untuk
memahami “sangkan paran “ dan keberadaan dirinya (Soedjatmoko, 1986) sehingga
dapat memperkuat identitas diri dan identitas nasional, atau identitas sebagai suatu
bangsa. Dalam kaitan ini maka pembelajaran sejarah berfungsi untuk menumbuhkan
kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah suatu orientasi intelektual, dan suatu sikajiwa untuk memahami keberadaan dirinya sebagai manusia, anggota masyarakat, dan
sebagai suatu bangsa (Soedjatmoko, 1986). Taufik Abdullah (1974) menegaskan bahwa
kesadaran sejarah tidak lain adalah kesadaran diri. Kesadaran diri dapat dimaknai sadar
akan keberadaan dirinya sebagai individu, sebagai makhluk sosial termasuk sadar sebagai
bangsa dan sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sardiman A.M., 2005).
MEMBANGUN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN.
Pembelajaran sejarah, akan mengembangkan aktivitas peserta didik untuk melakukan
telaah berbagai peristiwa, untuk kemudian dipahami dan diinternalisasikan kepada
dirinya sehingga melahirkan contoh untuk bersikap dan bertindak. Dari sekian peristiwa
itu antara lain pula ada pesan-pesan yang terkait dengan nilai nilai kepahlawanan seperti
keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan,
nasionalisme dan patriotisme (lih. Kabul Budiyono, 2007). Beberapa nilai ini dapat
digali dan dikembangkan melalui pembelajaran sejarah yang bermakna . Untuk itu
memang sangat dituntut adanya kreativitas dari para guru sejarah. Para guru sejarah harus
menggali dan mampu mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.
Di dalam pelajaran sejarah banyak pokok bahasan atau topik-topik yang
mengandung nilai-nilai kesejarahan tersebut. Misalnya ketika sedang membahas periode
penjajahan, sangat tepat untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai jati diri dan hak-hak
individu atau hak-hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai nasionalisme
dan patriotisme. Bagaimana perlawanan yang dilancarkan oleh Sultan Agung, oleh
Pangeran Diponegara, oleh Cut Nyak Dhien. Tokoh-tokoh ini berjuang tanpa pamrih
demi kebebasan tanah tumpah darahnya, demi membela rakyat yang menderita akibat
kekejaman kaum penjajah. Harta, jiwa dan raga dipertaruhkan demi tegaknya harga diri
dan kedaulatan sebagai bangsa Berbagai bentuk perjuangan ini secara dikotomis dapat
diaktualisasikan nilai-nilai kemerdekaan.
Dalam hal ini guru dituntut untuk mampu menjelaskan dan meyakinkan kepada peserta didik agar meresapi bahwa tindakan kaum penjajah di bumi Nusantara sangat bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keadalilan sebagai hak-hak asasi manusia. Hak-hak
individu yang paling asasi dirampas. Tidak ada kebebasan berserikat, tidak ada
kebebasan mengeluarkan pendapat dan memeluk agama secara utuh. Padahal Tuhan
menciptakan setiap bangsa, setiap manusia anggota masyarakat dalam keadaan sama,
kecuali karena kadar keimanannnya. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang
paling sempurna dengan kedudukan mulia yakni sebagai khalifah (pemimpin) di muka
bumi yang bertugas membangun dunia demi kemaslahatan semua orang. Jadi penjajahan
sangat jelas bertentangan dengan fitrah dan ciptaan Tuhan. Membahas topik-topik pada
periode penjajahan ini, peserta didik juga dapat diajak untuk menghayati dan
menumbukan sikap patriotisme, sikap dan tindakan anti penjajahan. Harus diyakinkan
kepada peserta didik bahwa tindak penajajahan itu adalah perilaku dholim karena
menyengsarakan rakyat banyak. Dalam konteks ini dapat diaktualisasikan konsep jihad,
“dan barang siapa berjihad di jalan Tuhan, surga adalah pahalanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar